Minggu, 28 Februari 2010

Aku Bukan Hantu


--> -->

Aku Bukan Hantu

Oleh : Uswatun Hasanah


Senja kali ini aku dibolehkan pulang, menengok kembali keluarga yang telah lama aku bentuk dan aku bina. Ingin segera bertemu dengan mereka, melampiaskan rindu walo itu tak berguna. Tak tahu aku, kabar kakak dan adik. Apakah mereka juga dibolehkan menengok keluarga atau malah sebaliknya, terkungkung selamanya dalam aktivitas kegiatan rutin yang tak kan pernah bisa lagi ditinggalkan.
Di depan rumah semi mewah ini aku berdiri sekarang. Dengan seulas senyum yang siap aku ulaskan lebih banyak untuk mereka-mereka orang terkasih dalam hidupku. Taukah kau bahwa keluarga adalah hal yang terindah yang pernah kumiliki. Mengalahkan kisah cinta yang begitu mudah tandus diterka sinar mentari yang semakin mendekati keparahan.
Kumasuki rumah pelan-pelan, sehingga tak mengusik mereka yang tengah asik dengan kegiatannya masing-masing. Ruang tamu kulewati setelah memandangi photo berukuran 60 x 30 cm yang terlukiskan di atasnya sosokku dan seorang lelaki paling bijak yang pernah aku kenal. Ingin sekali mengulang keindahan di masa lalu…
Berjalan aku dengan pelan-pelan. Dan seorang anak kecil menabrakku ketika ia berlari dikejar sang kakak. Tertawa ia. Walaupun aku tahu tawa itu bukan untukku, tapi sangat terasa bahwa ia menyambut kedatanganku dengan tawanya. Tahukah bahwa ia berlari menuju apa? Sebuah kitab yang begitu dijaga kesakralannya. Dan sungguh! Suarany begitu indah kudengar ketika sosok kecil itu melantunkannya didepanku.
Tuhan memang Maha Luar Biasa, anak kecil yang bahkan belum genap 6 tahun itu amat pandai menyentuh hati dengan bahasa komunikasi suci. Tanganku tak terasa mengusap air jernih yang muncul dari kelopak mata.

>_< >_< >_<

Aku sibuk! Benar-benar sibuk! Dengan kegiatan ini yang sebenarnya tak pernah sama-sekali aku sukai. Persetan dengan keluarga, persetan dengan orang rumah! Mereka tak kan pernah bisa membuat aku senang, membuat aku bahagia. Bukankah lebih baik aku pergi dari rumah itu? Muak dan muak!
Walopun aku menderita disini, mereka juga tak kan pernah merasakan penderitaanku. Masing-masing tanggung sendiri akibatnya. Itulah slogan keluargaku. Keluargakah itu? Jika sebuah keluarga kenapa tak ada sedikitpun rasa kebersamaan?
Diriku pribadi begitu malu menyebut mereka keluarga. Mengapa aku harus bangga jika mereka tak menyebutku anggota keluarga? Aku jadi membenarkan sikap kakak yang pergi dari rumah dan membina keluarga yang baru yang bahagia dan benar-benar bisa disebut keluarga. Yang masih peduli kepada kami, makhluk yang tak kelihatan ini.
Sayang begitu sayang. Sesal bukan sesal jika tak datang di akhir kisah. Kuucapkan selamat untuk kakakku. Biarlah aku menanggung yang telah aku lakukan. Tak ada gunanya juga aku pulang. Takkan ada kebahagiaan untukku.

>_< >_< >_<

Seorang lelaki tua tengah duduk dikerubungi cucu-cucunya. Terpancar juga keceriaan dari wajahnya. Cucunya tengah menanti-nanti suara dari mulut sang kakek dengan terbengong-bengong penasaran.
“Ayo Yang, cerita lagi… biar kami bisa tidur dengan penasaran. Hehe…” kata salah satu dari anak-anak itu.
Sang kakek tertawa, kemudian terbatuk karena tersedak oleh tawanya sendiri. Bahagia ia melihat cucu-cucunya punya jiwa memperhatikan orang bicara. Jaman sekarang sulit mendapatkan orang yang mau mendengarkan kita.
“uhuk-uhuk.. eyang mau cerita tentang …… Orang baik dan orang buruk”
“yaaaah.. kemaren kan Eyang cerita tentang itu… yang lain dong eyang” jawab anak yang satunya.
“ha…ha..ha.., kakek mulai pikun ternyata. Kalian tambah pintar saja…”
Cucunya tampak senang dipuji begitu.
Kemudian sang kakek bercerita tentang seseorang yang diutus Tuhan untuk memberikan pencerahan kepada orang-orang yang perilakunya buruk. Sembari pikirannya terngiang-ngiang dengan kedua adiknya yang meninggalkan rumah. Adik pertamanya berhasil memperbaiki hidup. Sedang adik keduanya mati sia-sia di tangannya sendiri. Muak dengan keluarga.
Sedang ia –Sang Eyang- bersama istrinya dan anaknya, memilih mengumpulkan generasi penerus keluarga pecah belah. Untuk menciptakan keluarga yang begitu diidamkan banyak orang.

>_< >_< >_<

Adalah keluarga kaya raya. Punya delapan anak bersaudara. 3 anak paling belakang meninggalkan rumah dengan caranya sendiri-sendiri. Sedang yang lainnya masih tertawa-tawa dengan anggur ditangan kirinya, dan wanita ditangan kanannya. Bagaikan hidup akan terus ada pada dirinya. Tak ada tawa anak, karena bagi mereka anak adalah pembuat ribet hidup.

Ngayojokarto,
23FE10_09.51


Sabtu, 13 Februari 2010

Mbah Durmo

-->
Mbah Durmo

Oleh : Uswatun Hasanah


“Mbah Durmo hilang!!!”
“Mbah Durmo hilang!!!”
Tersentak aku dari tidur siang, teriakan-teriakan senada membumbui angin. Begitu riuh dengan orang-orang yang kacau kebingungan. Mondar-mandir disertai ucapan keras. Ya! Terlihat jelas gelagat dan roman muka mereka dari jendela kamarku yang terbuka.
Tanganku bergerak menutupi uapan mulut. Lima detik kemudian berpindah kearah mata untuk mengucek-ucek dan membersihkan kotoran mata. Terduduk aku dengan daya pengumpulan nyawaku yang belum lengkap. Dengan mata yang masih malas terbuka, lembaran-lembaran catatan memori otak mulai kusingkapkan.
Hmmm… Mbah Darmo…
Tak tahu banyak aku tentangnya, baru tiga hari aku berpindah dari kotaku menuju ke sini. Desa H! Ya…. Desa yang amat terkenal kejanggalannya. Kedatanganku hanya bersifat sementara, dan aku tinggal di rumah pak RT.
Oleh Pak RT inilah, aku diceritakan tentang Mbah Durmo. Kata beliau, sejarah Mbah Durmo harus dikenal semua orang. Jadi, setiap pendatang baru, pastilah akan menyantap sajian ini. Tak terkecuali aku.
“Mbah Durmo itu Le…. Hatinya Desa H ini. Beliau itu orang hebat. Tidak ada yang berani menghadapinya. Desa ini bisa terkenal juga berkat Mbah Durmo. Kalau tidak ada Mbah Durmo, desa ini sampah Le…”
“Kalau dulu mbah Durmo itu tidak datang, sudah pasti, barang sehari saja, desa ini pasti sengsara. Semua yang disini benar-benar bersyukur dengan datangnya Mbah Durmo”.
Hmmm.. Mbah Durmo juga pendatang ternyata… setidaknya itu lima tahun yang lalu.
Sekilas kata-kata Pak RT teringatkan. Tapi yang paling teringat olehku, selesai ia bicara mengenai Mbah Durmo… di bibirnya tersungging senyum yang sangat aneh! Mendekati menyeringai…
Bergidik aku…
Tetapi, aku disini hanya sebagai observatory! Tak boleh gentar ketakutan hanya dengan seperti itu.
Sehari setelah kudapatkan cerita, aku mulai jalan-jalan menyusuri jalanan desa. Sekedar penyapaan saja pada masyarakat supaya tidak aneh melihatku. Dari begitu banyaknya penduduk, tidak sedikit yang terlihat aneh. Ketika kusapa, kusenyumi, kuakrabi, mereka begitu menariknya. Penuh sumringah. Tetapi ketika aku mulai meninggalkannya, senyum Pak RT terlihat juga pada roman mereka juga. Hiiii…
Yang paling kuingat, ketika aku berpapasan dengan Mbah Durmo! Asli! Aku tahu karena ada seseorang yang meneriakinya. Dan pada saat itu hanya ada aku dan Mbah Durmo saja di jalan.
Perawakannya kecil pendek, kepala bundar, rambutnya berwarna-warni, ada hitam, coklat, dan putih. Matanya cekung dengan dengan kantung mata yang bergelambir emas. Tulang pipinya tampak diperkenalkan pada umum.
mBah Durmo hanya mengenakan celana kolor tu warna coklat debu, dan tubuhnya bertelanjang dada. Hanya sarung kumal yang tergantung pada bahunya. Seperti tak terurus.
Bibir terlihat komat-kamit selalu, menjadikan kesan tubuhnya selalu ndredek tak karuan. Roman mukanya campur antara rasa cuek dan kebingungan. Aneh sekali.
Itukah mbah Durmo? Yang diagung-agungkan? Itukah? Pertanyaan seperti itu muncul karena saking herannya aku. Benar-benar tidak habis pikir.
Bukan orang pintar, malah terlihat seperti orang ta punya pikiran. Juga bukan seperti orang yang dihormati, malah terkesan dijauhi. Siapakah sebenarnya yang aneh? Mbah Durmo, warga, Pak RT, ataukah aku?
“Huaaaaahhhh” mengggeliat panjang aku sembari menghilangkan apa yang kupikirkan. Turun dari ranjang dan segera pergi mandi. Rumah sepi, disepikan oleh Mbah Durmo.
Malam di desa H diantarkan hiruk pikuk warga. Menyiapkan segala kebutuhan. Akan ada upacara pemanjatan doa di aula lapangan terbuka. Doa untuk Mbah durmo, supaya ia kembali pulang. Supaya desa H tidak hancur katanya.
Sebagai pendatang baru, akupun ikut juga dalam upacara. Di lapangan belum banyak orang yang datang. Dan yang sudah datang, duduk melingkari kotak yang ada di tengah-tengah. Konon kotak itu untuk sang pemimpin doa. Aku duduk di belakang.
“Mungkin Mbah Durmo sudah waktunya.”
“iya-ya… kan sudah ada penggantinya, tapi kenapa malah pergi?”
Sedikit bisik-bisik orang kudengarkan. Aku tak paham dengan maksud mereka. Terakhir yang kudengar hanya bunyi “ssstsss” perintah untuk diam atau mungkin juga jangan keras-keras.
Pemimpin datang dan dimulailah doa. Doa itu seperti dengungan beribu lebah di udara. Membuat pikiranku hilang.
Tiga kali matahari telah berganti, Mbah Durmo belum kelihatan juga batang hidungnya. Tujuh hari pula aku telah tinggal di desa aneh ini. Warga masih juga kelihatan kacau. Mungkinkah ini awal dari kehancuran?
Kusempatkan hari ini untuk kembali melihat-lihat desa. Pak RT banyak terdiam di rumah, membuatku jenuh, tak punya teman untuk berdiskusi. Kususuri jalan-jalan yang dulu pernah kulewati.
Suasana berbeda, berkabutkan duka juga kebingungan. Orang-orang banyak terdiam, aku benar-benar bingung dengan kelakuan mereka. Masih terus aku berjalan, menyapa dan menyapa. Hanya senyum miris yang kudapat.
“Pagi ibu… bagaimana kabar hari ini?” tanyaku pada seorang ibu yang menggendong bayi belepot ingus.
Sang penggendong bayi menggeleng perlahan, lalu keras, dan lebih keras. “Kacau, benar-benar akan kacau!!” katanya kemudian.
Ada apa Bu?” tanyaku kembali.
Tak aku dapatkan jawaban apapun. Ibu itu langsung saja pergi tanpa menggubrisku. Kutatap ia dari belakang. Selendangnya menari bebas diterbangkan angin, tidak seperti pikirannya yang mungkin kaku dan kacau.
Kulanjutkan perjalananku. Tak kurang dari sepuluh menit, terkagetkan aku oleh orang-orang dibelakang yang berlarian tergesa. Berbarengan dengan itu pula, orang-orang yang di dalam rumah keluar dan ikut menyatu dengan para pelari. Aku bak batu karang saja. Mencoba menahan diri tak bergeming diterpa gelombang orang-orang tergesa itu. Masih kulihat roman muka kebingungan.
Ada apa?” tanyaku.
Suaraku tertelan oleh tapak-tapak pelari.
Ada apa???!!” tanyaku lebih keras.
“Mbah Durmo ketemu! Di Lapangan! Kudengar seseorang menjawab pertanyaanku. Entah siapa. Akupun kini ikut arus gelombang tersebut.
Di lapangan orang-orang sudah berkerumun. Aku berhenti dari lariku dan berdiri diam terpaku. Aneh… aku merasa sangat aneh.
Kuterobos kerumunan itu dengan garang sekarang, dan kulihatlah Mbah Durmo. Terengah-engah aku dengan cepatnya, perlahan, lalu pelan. Mata Mbah Durmo tepat ke arah mataku. Tak dapat kuelakkan penglihatanku dari tatapannya. Sayu…
Ketika itu pula, aku mendengar kembali doa. Doakah itu? Atau mantera? Dengungan beribu lebah kembali menghilangkan pikiranku. Sebelum pikiranku hilang sepenuhnya, sempat kulihat Mbah Durmo jatuh tergeletak. Dan sempat lagi kudengarkan seseorang meneriakkan, “Sudah berpindah ke penggantinya… desa kita terselamatkan!”
Dan aku tak ingat lagi apapun!


Ngayojokarto
29DE08_19.02

Berkawan IT untuk Kemajuan

Judul                : Teknologi Informasi dan Fungsi Kepustakawanan Penulis              : Rhoni Rodin Penerbit            : Calpulis ...